-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

PASANG IKLAN

Dibawah Bayang Ketimpangan Bandara: Ketika Kemajuan Tak Menyentuh Pinggiran

Rabu, 15 Oktober 2025 | Oktober 15, 2025 WIB Last Updated 2025-10-15T11:23:26Z

 

Foto : Ilustrasi, Genereted AI 

TANGERANG, TRANSPANTURA.COM - Di balik gegap gempita lalu lintas udara Bandara Internasional Soekarno-Hatta, tersimpan kisah lain yang jarang tersorot. Tangerang, kota yang dikenal sebagai pusat jasa dan perdagangan modern, kini menghadapi kenyataan pahit: kesenjangan sosial yang makin nyata di antara tembok-tembok kemewahan dan lorong-lorong sempit permukiman kumuh.


Kontras di Pintu Gerbang Indonesia


Hanya beberapa kilometer dari terminal bandara yang sibuk, tiga kecamatan—Batuceper, Benda, dan Neglasari—menjadi potret ironi urban. Di tengah suara deru pesawat yang tak pernah berhenti, masih berdiri rumah-rumah berdinding seng, gang-gang berlumpur, dan saluran air yang kotor.


Menurut Analisis Statistik Sektoral Kota Tangerang 2023, total kawasan kumuh di kota ini mencapai 77,98 hektare. Dari angka tersebut, Neglasari menyumbang 16,08 persen, Batuceper 11,58 persen, dan Benda 5,92 persen. Angka yang mencerminkan jarak sosial yang kian menganga di antara modernitas dan keterpinggiran.


“Kota jasa sejati tidak seharusnya membiarkan warganya hidup di permukiman tak layak, apalagi hanya sepelemparan batu dari terminal internasional,” tulis Abdul Rosyid Warisman, Sekjen Forum Aksi Mahasiswa 2019–2022, dalam opininya Kota Jasa di Bawah Bayang Ketimpangan.


Ketimpangan yang Dibentuk, Bukan Ditemukan


Rosyid menilai, ketimpangan yang terjadi di Tangerang bukanlah hasil kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari arah pembangunan yang lebih berpihak pada modal besar ketimbang kebutuhan sosial warga.


Dalam dua dekade terakhir, urbanisasi dari Jakarta membawa pertumbuhan pesat. Namun, tata ruang kota lebih banyak dialokasikan untuk kawasan industri, pergudangan, dan properti komersial, sementara ruang hidup masyarakat makin menyempit.


“Benda dan Batuceper menanggung beban polusi dan kemacetan dari proyek kota jasa, tapi tak menikmati hasil ekonominya,” ujarnya kepada Wartawan Kota (12/10/2025).


Angka yang Tak Sepenuhnya Bicara


Data BPS Kota Tangerang menunjukkan tren positif: tingkat pengangguran terbuka turun dari 9,07 persen pada 2021 menjadi 5,92 persen pada 2024. Namun, di balik statistik itu, banyak warga yang bertahan hidup sebagai pekerja informal—buruh lepas, ojek daring, pedagang kaki lima, dan tenaga kebersihan—semuanya tanpa perlindungan sosial memadai.


“Statistik bisa membaik, tapi realitas di lapangan belum berubah,” kata Rosyid. “Kemiskinan berkurang di atas kertas, tapi manusia belum benar-benar bebas dari ketidakpastian ekonomi.”


Citra Canggih, Masalah Lama


Pemerintah Kota Tangerang selama ini mengusung citra sebagai smart city dan kota religius. Namun, Rosyid menilai banyak program yang hanya berhenti pada simbol: taman digital, trotoar artistik, dan festival tematik.


Sementara itu, problem dasar seperti banjir, sanitasi buruk, dan kawasan kumuh tetap belum tertangani secara menyeluruh.


“Citra modern sering dijadikan obat penenang publik, menutupi kenyataan bahwa sebagian warga masih hidup di bawah standar kesejahteraan,” ujarnya.


Menata Ulang Arah Pembangunan


Sebagai akademisi Administrasi Bisnis, Rosyid menegaskan, keberhasilan kota jasa bukan diukur dari tingginya gedung atau menurunnya angka pengangguran semu, melainkan dari sejauh mana warga kecil dapat hidup tanpa rasa takut dan kemiskinan yang diwariskan.


Ia menyerukan tiga langkah penting untuk membalik arah pembangunan Tangerang:


1. Membangun ekonomi jasa berbasis warga lokal — mengintegrasikan UMKM dan pelatihan vokasi ke ekosistem bandara.


2. Mewujudkan ruang kota yang inklusif — memperlakukan kawasan kumuh sebagai bagian dari kota, bukan noda yang harus disembunyikan.


3. Memulihkan moralitas pelayanan publik — menjadikan pemerintah pelayan rakyat, bukan pengelola citra.


“Jika keadilan ruang dan ekonomi tak segera direbut kembali, Tangerang hanya akan menjadi kota singgah—ramai dikunjungi, tapi tak ada yang ingin menetap,” tutupnya.


Kota yang Sibuk Melayani Dunia, Lupa pada Rumah Sendiri


Paradoks Tangerang kini jelas terlihat: kota yang sibuk melayani dunia, tapi belum tuntas melayani warganya.

Bandara Soekarno-Hatta memang simbol globalisasi, tapi juga cermin ketimpangan yang nyata—sebuah refleksi bahwa di balik modernitas, masih ada warga yang hidup di bawah bayang landasan pesawat. (*)

PASANG IKLAN
×
Berita Terbaru Update